Newest Post
// Posted by :beb
// On :Sabtu, 10 Oktober 2015
Suku Bugis atau to Ugi’ adalah salah satu suku di antara sekian banyak suku
di Indonesia. Mereka bermukim di Pulau Sulawesi bagian selatan. Namun, dalam
perkembangannya, saat ini komunitas Bugis telah menyebar luas ke seluruh
Nusantara. Ugi bukanlah sebuah kata yang memiliki makna. Tapi merupakan
kependekan dari La Satumpugi, nama seorang raja yang pada masanya menguasai
sebagian besar wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. La Satumpugi terkenal baik
dan dekat dengan rakyatnya. Rakyatnya pun menyebut diri mereka To Ugi, yang
berarti Orang Ugi atau Pengikut Ugi. Dalam perjalanannya, seiring gerakan ke-Indonesiaan,
Ugi dibahasa-Indonesiakan menjadi Bugis dan diidentifikasikan menjadi salah
satu suku resmi dalam lingkup negara Republik Indonesia.
I. Kebudayaan Suku Bugis
Budaya–budaya Bugis sesungguhnya yang
diterapkan dalam kehidupan sehari–hari mengajarkan hal–hal yang berhubungan
dengan akhlak sesama, seperti mengucapkan tabe’ (permisi) sambil berbungkuk
setengah badan bila lewat di depan sekumpulan orang-orang tua yang sedang
bercerita, mengucapkan iyé’ (dalam bahasa Jawa nggih), jika menjawab pertanyaan
sebelum mengutarakan alasan, ramah, dan menghargai orang yang lebih tua serta
menyayangi yang muda. Inilah di antaranya ajaran–ajaran suku Bugis sesungguhnya
yang termuat dalam Lontara‘ yang harus direalisasikan dalam kehidupan
sehari–hari oleh masyarakat Bugis.
Umumnya rumah orang Bugis berbentuk rumah
panggung dari kayu berbentuk segi empat panjang dengan tiang-tiang yang tinggi
memikul lantai dan atap. Konstruksi rumah dibuat secara lepas-pasang (knock
down) sehingga bisa dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain.
Orang Bugis memandang rumah tidak hanya sekedar tempat tinggal tetapi juga
sebagai ruang pusat siklus kehidupan. Tempat manusia dilahirkan, dibesarkan,
kawin, dan meninggal. Karena itu, membangun rumah haruslah didasarkan tradisi
dan kepercayaan yang diwarisi secara turun temurun dari leluhur. Konstruksi
berbentuk panggung yang terdiri atas tingkat atas, tengah, dan bawah diuraikan
yaitu :
Tingkat atas digunakan untuk menyimpan padi dan benda-benda pusaka.
Tingkat tengah, yang digunakan sebagai tempat tinggal, terbagi atas
ruang-ruang untuk menerima tamu, tidur, makan dan dapur. Tingkat dasar yang
berada di lantai bawah diggunakan untuk menyimpan alat-alat pertanian, dan
kandang ternak. Rumah tradisional bugis dapat juga digolongkan berdasarkan
status pemiliknya atau berdasarkan pelapisan sosial yang berlaku.
A. SISTEM RELIGI
Pada mulanya, agama Suku Bugis adalah
animisme yang diwariskan secara turun-temurun. Masyarakat di sini merupakan
pengikut aliran kepercayaan sure galigo, yaitu sebuah kepercayaan pada dewa
tunggal yang sering mereka sebut dengan Patoto E. Bahkan, sampai saat ini masih
ada masyarakat Bugis yang mempercayai aliran ini. Namun animisme itu terkikis
sejak ulama asal Sumatera bernama Datuk Di Tiro menyebarkan ajaran Islam di
Sulawesi Selatan. Islam kemudian menjadi agama utama Suku Bugis hingga kini.
Islam masuk ke daerah Suku Bugis sekitar abad ke 17, melalui para pedagang
Melayu. Ajaran Islam yang mudah diterima oleh masyarakat setempat membuat agama
ini menjadi pilihan di antarakeberagaman agama lainnya. Mereka bisa menerima
Islam dengan baik karena menurut mereka ajaran Islam tidak mengubah nilai-nail,
kaidah kemasyarakatan dan budaya yang telah ada.
Walaupun demikian, beberapa komunitas Suku Bugis tidak
mau meninggalkan animisme. Ketika Pemerintah Indonesia menawarkan kepada mereka
lima agama untuk dianut, mereka lebih memilih agama Budha atau Hindu yang
mereka anggap menyerupai animisme mereka. Maka jangan heran kalau ada orang
Bugis yang menunjukkan KTP-nya bertuliskan agama Budha atau Hindu.
B. SISTEM ORGANISASI KEMASYARAKATAN
Suku Bugis merupakan suku yang menganut
sistem patron klien atau sistem kelompok kesetia kawanan antara pemimpin dan
pengikutnya yang bersifat menyeluruh. Salah satu sistem hierarki yang sangat
kaku dan rumit. Namun, mereka mempunyai mobilitas yang sangat tinggi, buktinya
dimana kita berada tak sulit berjumpa dengan manusia Bugis. Mereka terkenal
berkarakter keras dansangat menjunjung tinggi kehormatan, pekerja keras demi kehormatan
nama keluarga.
Sedangkan sistem kekerabatan orang Bugis
disebut assiajingeng yang mengikuti sistem bilateral atau sistem yang mengikuti
pergaulan hidup dari ayah maupun dari pihak ibu. Garis keturunan berdasarkan
kedua orang tua sehingga seorang anak tidak hanya menjadi bagian dari keluarga
besar ayah tapi juga menjadi bagian dari keluarga besar ibu.
Hubungan kekerabatan atau assiajingeng ini
dibagi dua yaitu siajing mareppe(kerabat dekat) dan siajing mabella (kerabat
jauh). Kerabat dekat atau siajing mareppe adalah penentu dan pengendali
martabat keluarga. Siajing mareppe inilah yang akan menjadi tu masiri’ (orang
yang malu) bila ada perempuan anggota keluarga mereka yang ri lariang (dibawa
lari oleh orang lain). Mereka punya kewajiban untuk menghapus siri’ atau malu
tersebut.
Anggota siajing mareppe didasarkan atas dua jalur, yaitu reppe mereppe atau
anggota kekeluargaan berdasarkan hubungan darah dan siteppang mareppe(sompung
lolo) atau anggota kekeluargaan berdasarkan hubungan perkawinan.
C. SISTEM PENCAHARIAN
Wilayah Suku Bugis terletak di dataran
rendah dan pesisir pulau Sulawesibagian selatan. Di dataran ini, mempunyai
tanah yang cukup subur, sehingga banyak masyarakat Bugis yang hidup sebagai
petani. Selain sebagai petani, SukuBugis juga di kenal sebagai masyarakat
nelayan dan pedagang. Meskipun mereka mempunyai tanah yang subur dan cocok
untuk bercocok tanam, namun sebagian besar masyarakat mereka adalah pelaut.
Suku Bugis mencari kehidupan dan mempertahankan hidup dari laut.Tidak sedikit masyarakat Bugis yang merantau
sampai ke seluruh negeri dengan menggunakan Perahu Pinisi-nya. Bahkan,
kepiawaian suku Bugis dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas hingga luar
negeri, di antara wilayah perantauan mereka, seperti Malaysia, Filipina, Brunei,
Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan. Suku Bugis memang terkenal
sebagai suku yang hidup merantau. Beberapa dari mereka, lebih suka berkeliaran
untuk berdagang dan mencoba melangsungkan hidup di tanah orang lain. Hal ini
juga disebabkan oleh faktor sejarah orang Bugis itu sendiri di masa lalu.
D. SISTEM TEKNOLOGI DAN PERALATAN
Dengan terciptanya peralatan untuk hidup
yang berbeda, maka secaraperlahan tapi pasti, tatanan kehidupan perorangan,
dilanjutkan berkelompok,kemudian membentuk sebuah masyarakat, akan penataannya
bertumpu pada sifat-sifat peralatan untuk hidup tersebut. Peralatan hidup ini
dapat pula disebut sebagaihasil manusia dalam mencipta. Dengan bahasa umum,
hasil ciptaan yang berupaperalatan fisik disebut teknologi dan proses
penciptaannya dikatakan ilmupengetahuan dibidang teknik.Sejak dahulu,
suku Bugis di Sulawesi Selatan terkenal sebagai pelautyang ulung. Mereka sangat
piawai dalam mengarungi lautan dan samudera luas hingga ke berbagai kawasan di
Nusantara dengan menggunakan perahu Pinisi.
1. Perahu Pinisi
Perahu Pinisi termasuk alat transportasi laut tradisional masyarakat
Bugisyang sudah terkenal sejak berabad-abad yang lalu. Menurut cerita di
dalamnaskah Lontarak I Babad La Lagaligo, Perahu Pinisi sudah ada
sekitar abad ke-14M. Menurut naskah tersebut, Perahu Pinisi pertama kali
dibuat olehSawerigading, Putra Mahkota Kerajaan Luwu. Bahan untuk membuat
perahutersebut diambil dari pohon welengreng (pohon dewata) yang terkenal
sangatkokoh dan tidak mudah rapuh. Namun, sebelum pohon itu ditebang,
terlebih dahulu dilaksanakan upacara khusus agar penunggunya
bersedia pindah ke pohon lainnya. Hingga saat ini, Kabupaten
Bulukumba masih dikenal sebagai produsen Perahu Pinisi.
2. Sepeda dan Bendi
Sepeda ataupun Dokar, koleksi Perangkat
pertanian Tadisional ini adalahbukti sejarah peradaban bahwa sejak jaman dahulu
bangsa indonesia khususnyamasyarakat Sulawesi Selatan telah dikenali sebagai
masyarakat yang bercocok tanam. Mereka menggantungkan hidupnya pada sektor
pertanian terutamatanaman padi sebagai bahan makanan pokok.
3. Koleksi peralatan menempa besi dan hasilnya
Jika anda ingin mengenali lebih jauh
tentang sisi lain dari kehidupan masalampau masyarakat Sulawesi Selatan, maka
anda dapat mengkajinya melaluikoleksi trdisional menempa besi, Hasil tempaan
berupa berbagai jenis senjatatajam, baik untuk penggunan sehari – hari maupun
untuk perlengkapan upacaraadat.
4. Koleksi Peralatan Tenun Tradisional
Dari koleksi Peralatan Tenun Tradisional
ini, dapat diketahui bahwabudaya menenun di Sulawesi Selatan diperkirakan
berawal dari jaman prasejarah,yakni ditemukan berbagai jenis benda peninggalan
kebudayaan dibeberapa daerahseperti leang – leang kabupaten maros yang
diperkirakan sebagai pendukung pembuat pakaian dari kulit kayu dan serat –
serat tumbuhan-tumbuhan. Ketika pengetahuan manusia pada zaman itu mulai
Berkembang mereka menemukan cara yang lebih baik yakni alat pemintal tenun
dengan bahan baku benang kapas. Dari sinilah mulai tercipta berbagai jenis
corak kain saung dan pakaian tradisional.
E. BAHASA DAN LITERATUR
Dalam kesehariannya hingga saat ini orang
bugis masih menggunakan bahasa “Ugi” yang merupakan bahasa keluarga besar dari
bahasa Austronesia Barat. Selain itu, orang Bugis juga memilikis aksara sendiri
yakni aksara lontara yang berasal dari huruf Sansekerta. Bahkan uniknya, logat
bahasa Bugis berbeda di setiap wilayahnya; ada yang kasar dan ada yang halus.
Bahasa, yang dimiliki Suku Bugis menandakan satu hal: Suku Bugis pada masanya memiliki
peradaban yang luar biasa hebatnya. Nenek moyang Suku Bugis adalah orang-orang
pintar yang mampu menciptakan dan mewariskan ilmu pengetahuan.
Referensi :
https://zulfaworld.wordpress.com/2014/03/19/kebudayaan-suku-bugis/
Diberdayakan oleh Blogger.